Selasa, 29 November 2022

Menumbuhkan Empati dengan Kontemplasi Terhadap Bencana

     Mendengar banyak bencana alam di berbagai media seolah merasakan betapa sedihnya. Inilah saatnya berkontemplasi dan tumbuhkan rasa empati serta peduli. 

by Nur Ida Zed

                                            foto: dok pribadi

     Senin siang itu Jakarta ikut merasakan getaran akibat gempa dari Cianjur, termasuk saya. Meski hanya sebentar, hampir semenit saja membuat kami begitu khawatir dan keluar gedung untuk berjaga-jaga. Awalnya tidak menyangka ketika tiba-tiba terasa tempat yang dipijak bergoyang, gelas di meja sedikit bergeser, lalu tersadar kalau ini efek dari gempa, yang menurut BMKG- Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika akibat pergeseran sesar atau patahan lempeng Cimandiri yang bisa terjadi setiap dua puluh tahun sekali.

     Kemudian ketika melihat berita di televisi, subhanallah, tadi itu beneran efek gempa berkekuatan (baca: magnitudo) 5,6 skala rihter yang ternyata membawa banyak korban meninggal dunia dan luka-luka, serta puluhan kerusakan yang dihasilkannya, dari tanah longsor di kawasan Cianjur, Jawa Barat ini. Sampai saat ini, dari data yang saya baca bahkan telah ditemukan sekitar 321 orang yang wafat serta ratusan  masih dirawat dan ribuan lagi yang mengungsi karena kehilangan rumah, ternak, sawah maupun harta benda berupa materi lainnya. Ada juga yang masih perlu dievakuasi, dan dicari lagi keberadaannya.

     Sungguh, hal ini membuat saya ikut merasakan kesedihan, dan turut berduka cita. Jadi ingat dulu waktu kejadian gempa di Yogya, saya sempat dapat penugasan menulis laporan utama di Majalah Herworld Indonesia, dan terjun langsung untuk mewawancarai para korban, relawan dan pejabat setempat sebagai nara sumber yang berada di sana. Dan kondisi yang memprihatinkan saat itu membutuhkan pemulihan yang memakan waktu lama. Tak hanya orang tua, tapi juga anak-anak di penampungan (baca: pengungsian) yang butuh terapi  trauma healing agar dapat menerima keadaan dengan tetap merasakan bahagia. 

     Saya berfikir bahwa merasakan efek gempa kemarin itu saja membuat kami khawatir, apalagi mereka yang mengalaminya sendiri ya. Di WA grup kami saling bersapa dan meminta kabar, karena beberapa teman juga ada yang tinggal di daerah yang tak jauh dari lokasi musibah.  


Tak Bisa Dihindari

     Musibah, ya, dia datang dalam sekejap tanpa bisa diprediksi, pun tak bisa dihindari, sehingga dapat memporak-porandakan semua, meluluh lantakkan yang diingini. Bila itu sudah menjadi kehendak Illahi, maka sebagai manusia biasa,  bisa apalah kita ini. Banyak kisah kesedihan di balik kejadian dan bencana yang menimpa. Suami yang kehilangan istrinya, istri kehilangan suami, orang tua kehilangan anak dan sebaliknya, sanak saudara tak ditemukan, teman tak ada dan entah apa lagi. 

     Terus terang, belakangan saya mulai berkontemplasi, merenung dengan kebulatan pikiran dan perhatian penuh. Bertafakur dan melakukan refleksi diri agar bisa menjernihkan pikiran dan mengundang chi positif sehingga dapat menjalani kehidupan dengan lebih baik dan penuh semangat. Di saat sholat malam, atau ketika terbangun menjelang subuh, yang ketika berdoa di sepertiga malam ini merupakan waktu yang tepat buat kita curhat kepada Tuhan dan berbicara dengan diri sendiri.

     Mencoba lebih mengenal diri kita, menyadari segala kelebihan dan kekurangannya. Bahwa kita, makhluk yang tidak hidup sendiri, meski sebenarnya kita hanya sendiri, di saat lahir dan nanti ketika dipanggil pergi. Sebab itulah sebaiknya kita juga menumbuhkan rasa empati dan peduli. 


Tumbuhkan Rasa Empati

     Dalam wikipedia, empati didefinisikan sebagai respons afektif dan kognitif yang kompleks pada orang lain, termasuk merasakan keadaan emosional orang lain, semacam rasa simpati dan mencoba menyelesaikan masalah dengan mengambil perspektif orang lain. Sikap yang baik ini agaknya memang  patut ditumbuhkan dalam setiap suasana, juga ketika bertemu dengan orang yang mengalami bencana.

     Rasa empati yang sudah ada akan memberikan banyak manfaat dan menimbulkan sikap peduli yang akan berdampak positif terhadap kehidupan ini. Antara lain: 

*Mempererat rasa persaudaraan. Bahwa kita manusia di dunia ini sebenarnya bersaudara, ketika salah satu mengalami musibah dan bencana, maka yang lain akan ikut merasakannya. Saudara tak sekedar karena aliran darah, tapi lebih karena sama-sama makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa.

*Menimbulkan kerukunan. Dengan rasa empati dan peduli, maka akan timbul kerukunan senasib seperjuangan. Hal ini akan mendatangkan rasa kasih terhadap sesama, tanpa melihat agama, suku dan budaya yang berbeda, apalagi di saat datang bencana yang butuh dukungan dan bantuan. Hidup rukun membawa pada rasa bahagia.

*Menjauhkan dari egois.  Tak ada rumus mementingkan diri sendiri, manakala kita punya rasa empati, apalagi menjatuhkan satu dengan yang lain, dan mengambil keuntungan dari kesedihan yang lainnya. Mengikis egois menjadikan hidup ini teramat manis

*Memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Lebih luas lagi, empati akan memperkuat rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Mencintai tanah air ini, dan tak mudah terprovokasi serta diadu domba.

*Mendekatkan diri kepadaNya. Pada akhirnya, rasa empati akan membawa kita untuk lebih dekat pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Keikhlasan memberi dan menerima dengan semata niat berbuat baik untuk mendapatkan pahala dan mencari berkahNya.

     Ya, ketika berkontempelasi saya merasakan banyak manfaat yang didapat, terlebih pada kebutuhan batin yang membawa pada ketentraman dan  kebahagiaan. 

     Salam sehat dan selalu semangat.***NZ








Tidak ada komentar:

Posting Komentar