Minggu, 30 Maret 2014

Batik, Budaya dan Filosofi



Catatan Batik dalam Budaya dan Filosofi
By Nur Ida Zuhayanti


Selain membawa kenyamanan dan keindahan, dalam selembar kain batik tersimpan makna filosofis, sosial dan cultural. Batik, merupakan dokumen yang sarat makna

      Memakai batik kini tak lagi didominasi oleh kalangan tertentu. Hampir semua masyarakat menyukai corak batik sebagai busana serta pelengkap fashion lainnya. Bahkan para petinggi negara telah mencanangkan hari batik sebagai hari nasional, sehingga ada hari tertentu yang diwajibkan memakai busana bercorak batik, karena batik memang merupakan cerminan budaya bangsa. Dalam perjalanannya, batik memiliki filosofi yang erat kaitannya dengan kultur sosial masyarakat tertentu di negri ini, termasuk di dalamnya budaya Tionghua.

       Ya. Tidak bisa dipungkiri bahwa pengaruh kebudayaan Tionghua telah begitu melekat di kawasan Nusantara. Dari peradaban, gaya arsitektur, menu makanan, hingga fashion dan model pakaian, banyak diabsorbsi dari negeri tirai bambu ini. Hadist Nabi yang mengatakan: “Belajarlah sampai ke negeri China”, seolah memberi recoment pada negeri yang penuh dengan seni budaya dan filosofi ini. Sebab di Tionghua, semua dokumen serba tercatat, dan bisa ditelusuri asal muasalnya. Berikut catatan saya mengenai Batik dalam Budaya dan Filosofi dari Seminar Tekstil Tradisional, yang diadakan oleh Direktorat Jendral Nilai Budaya, Seni dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata di Museum Nasional, Jakarta.

Filosofi Batik

Dalam kehidupan sehari-hari, bangsa Indonesia memiliki tradisi yang bersifat “Dualisme Witungga”. Yaitu suatu tradisi yang menyebutkan adanya kehidupan yang selalu berpasangan,  dimana ada “Dunia Atas” seperti dewa, angkasa, lelaki, baik, kanan dan seterusnya, pasti ada “Dunia Bawah” seperti manusia, laut, wanita, jahat, kiri dan seterusnya. Oleh sebab itu, ketika orang Tionghua memperkenalkan budayanya, bangsa Indonesia tidak langsung menolak karena warisan tradisi nenek moyangnya. Sehingga kecenderungan kain tradisional nusantara pada masa prasejarah mencerminkan pada ragam hiasnya tentang keseimbangan, keselarasan, keserasian dan kelestarian seperti  filsafat yang terkandung dalam  hong shui, yakni Ying danYang.
  
Budaya dan tradisi ini sangat berpengaruh dalam kebudayaan Indonesia, terlebih karena latar belakang kepercayaan nenek moyang  bangsa Indonesia tidak  jauh berbeda, sehingga pengaruh itu nampak dan terekam pada kain-kain tradisional Indonesia. Kain batik bila diamati secara kasat mata adalah sebuah kain yang mempunyai gambar, warna dan motif tertentu. Namun bila dikaji lebih dalam , ternyata kain batik mengandung  makna yang sarat akan filosofi.

Filosofi batik tidak hanya dilihat dari kain yang sudah bermotif, namun jauh sebelum itu, bahkan dalam proses pembuatannya. Seperti selembar kain putih ibarat orang yang baru dilahirkan dalam keadaan putih, bersih dan suci. Benda yang masih polos tergantung pada orang yang menorehkan gambar, dengan penuh kasih sayang, cinta kasih atau dengan emosi.

Menggambar pola batik dengan menggunakan canting tidak semudah kita menorehkan coretan pada kanvas dengan kuas. Dalam membatik diperlukan landasan ketulusan pikiran dan kehalusan perasaan, agar rasa itu terekam dalam kain batik nantinya. Filosofi dalam proses membuat pola batik ini menyiratkan bahwa dalam  bekerja setiap manusia itu harus dilandasi ketulusan perasaan dan pikiran untuk dapat menghasilkan karya yang dapat dirasakan dan dibanggakan oleh orang yang memakainya.

Begitu juga dalam proses pewarnaan, dimana dibutuhkan kesabaran dan pengulangan untuk mendapatkan hasil maksimal seperti yang diinginkan. Selain warna yang dihasilkan tidak gampang pudar atau luntur, bahkan dalam kurun waktu yang cukup lama, juga dapat menambah kekuatan umur kain yang dihasilkan. Sehingga kain batik yang berkualitas tinggi merupakan aset yang berharga. Dalam hal ini makna filosofi yang dapat kita petik adalah, sebuah proses sangat menentukan terhadap hasil. Pewarnaan yang membutuhkan waktu ibarat orang bekerja hendaklah menghindarkan sesuatu yang berbau instan, yang mana hasilnya akan cepat pudar dan mudah dibuang dari memori orang lain.

Motif dan Budaya

  Tidak jauh berbeda bilamana kita berbicara masalah motif tradisional yang sudah menjadi pakem, seperti Kawung, Sidomukti, Parang dan sebagainya. Ternyata motif-motif batik sangat terbuka terhadap unsur-unsur baru dari luar yang dapat memperkaya dan memperindah keberagamannya. Seperti motif-motif batik pesisiran yang muncul di sepanjang Pantura, dari Cirebon hingga Banyuwangi.

Sebagai contoh, di wilayah Tuban terdapat kain batik bermotif Tionghua yang paling disukai dengan ragam hias burung phoenix dan kembang peony. Kembang peony ini berasal dari agama Buddha, sedangkan burung phoenix atau burung hong merupakan simbol yang melambangkan keabadian.

Menurut kepercayaan Tionghua, bila burung phoenix telah lelah dan mendekati ajalnya, maka akan kembali ke sarangnya semula, lalu membakar diri di sarang tersebut. Tetapi dari abu pembakaran itu akan lahir kembali seekor burung yang baru. Demikianlah mata rantai ini tidak ada habis-habisnya. Dari keberagaman motif dan terbuka terhadap unsur baru yang menyiratkan bahwa manusia hendaklah mempunyai sifat terbuka atas masukan-masukan positif yang dapat memperkaya dan mempunyai nilai tambah dalam kehidupan bersama.***NZ   
Foto-foto: Revin Ananda,Istimewa.