Setiap perempuan dibekali multitalenta dan kegigihan yang patut dihargai. Karena itu bersyukurlah dengan apa yang dimiliki sebagai sumber kebahagiaan sejati.
by Nur Ida Zed
foto: dokpri @nuridazed
Ini cerita dari Ruang Setara dan Lestari. Kebetulan beberapa waktu lalu saya menghadiri acara yang diinisiasi oleh komunitas Humanis ini di Taman Ismail Marzuki. Mengangkat peran perempuan untuk lingkungan serta perubahan iklim yang kerap terjadi. Keterlibatan perempuan membuka ruang bagi pertukaran pengetahuan, gagasan inovatif, dan pendekatan berbasis kebutuhan nyata.
Di jalin kolaborasi saya bertemu dengan para perempuan yang gigih berkomitmen pada krisis iklim dan memainkan peran krusial dalam mendorong keadilan gender dan keadilan iklim itu sendiri. Di antaranya: Puspa Iklim dari Kohati Solo, Jawa Tengah, Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YKBB) dari Bandung, Jawa Barat, Jaringan Perempuan Muda Sumba-NTT, Ruang Kolaborasi Perempuan dari Kolaka, Sulawesi Tenggara, serta Eco Warrior-Inspiring Generation dari Kabupaten Kuningan.
foto: dokpri @nuridazed
Mereka ini sering menjadi penggerak utama dalam perlindungan lingkungan dan memiliki peran penting dalam menjaga alam. Ada yang melalui edukasi dan aksi nyata seperti pembuatan lubang resapan biopori untuk mencegah banjir, juga melalui karya yang mendorong pemberdayaan perempuaan dalam menghadapai krisis iklim dengan pengembangan wirausaha lestari seperti produksi totebag eco-print, tenun ikat, olahan ikan serta pengelolaan sampah yang akhirnya mampu memberi nilai ekonomi dan dapat membantu kelangsungan hidup.
Para perempuan ini begitu gigih meningkatkan kemandirian mereka di tengah krisis iklim dan isu gender di daerah masing-masing. Tak pelak, seringkali menghadapi berbagai tantangan, yang meliputi keterbatasan akses, bias gender dalam pola pikir serta beban domestik dalam keluarga. Ya, keluarga.
Penyintas Kawin Paksa
Kemudian saya tertarik dengan pembuatan tenun ikat menggunakan kapas dan pewarna alam tradisional melawan krisis iklim bagi penyintas kawin paksa. Saya bertanya pada Tanamakka, perempuan yang juga inisiator Jaringan Perempuan Muda Sumba-NTT yang kala itu menunjukkan karya sebentuk tenun ikat tradisional nan cantik. Konon berbagai cerita tersimpan dalam selembar kain tenun ini dari setiap perempuan yang menyelesaikannya.
"Ceritanya sangat panjang" begitu tuturnya. Karena banyak perempuan di Sumba ini ternyata masih terikat dengan budaya kawin paksa sehingga mau tak mau harus menerima takdirnya.
Namun demikian, para perempuan penyintas kawin paksa ini lalu dilibatkan dalam proses produksi tenun sebagai pemulihan, pemberdayaan ekonomi serta penguatan identitas budaya sehingga mendorong kemandirian dan membangun kembali rasa percaya dirinya. Perempuan dengan multitalenta dan kegigihan merupakan salah satu bekal untuk tetap berdaya.
Bersyukur dengan apa yang kita punya
Cerita saya, tentang cerita dari ruang setara dan lestari ini setidaknya membuka wawasan dan pikiran untuk terus bersyukur dan menghargai apa yang kita punya. Merasa cukup dengan apa yang kita miliki, menikmati semua proses yang dilalui, bahagia dengan menerima diri kita sendiri.
Apapun yang didapatkan dalam hidup ini, baik itu berupa materi, hubungan, pengalaman serta pencapaian yang ada hendaknya menjadi sarana untuk selalu dekat dengan Sang Pencipta. Tak perlu membandingkan dengan orang lain, karena setiap manusia memiliki porsinya sendiri.
Kepada anak-anak saya juga senantiasa berharap untuk bisa menghargai diri sendiri tanpa melihat kelebihan orang lain. Dengan menghargai dan mensyukuri yang kita miliki, maka akan menciptakan kebahagiaan yang lebih dalam dan berkelanjutan dalam hidup.
foto: dokpri @nuridazed
Akhirnya dari ruang setara dan serasi akan muncul generasi penerus bangsa, terutama para perempuan berdaya memunculkan karya-karya berharga yang memberikan kontribusi positif untuk kemajuan negeri ini.
😍😍
BalasHapusMakasii Pinee, semoga ceritanya menginspirasi yaa😍😍
Hapus