Catatan Batik dalam Budaya
dan Filosofi
By Nur Ida Zuhayanti
Selain membawa kenyamanan dan keindahan, dalam selembar
kain batik tersimpan makna filosofis, sosial dan cultural. Batik, merupakan
dokumen yang sarat makna
Ya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pengaruh kebudayaan Tionghua telah begitu melekat
di kawasan Nusantara. Dari peradaban, gaya arsitektur, menu makanan, hingga fashion dan model pakaian, banyak
diabsorbsi dari negeri tirai bambu ini. Hadist Nabi yang mengatakan:
“Belajarlah sampai ke negeri China”, seolah memberi recoment pada negeri
yang penuh dengan seni budaya dan filosofi ini. Sebab di Tionghua, semua
dokumen serba tercatat, dan bisa ditelusuri asal muasalnya. Berikut catatan
saya mengenai Batik dalam Budaya dan Filosofi dari Seminar Tekstil Tradisional, yang
diadakan oleh Direktorat Jendral Nilai Budaya, Seni dan Film Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata di Museum Nasional, Jakarta.
Filosofi
Batik
Dalam kehidupan sehari-hari, bangsa Indonesia memiliki
tradisi yang bersifat “Dualisme Witungga”. Yaitu suatu tradisi yang menyebutkan
adanya kehidupan yang selalu berpasangan,
dimana ada “Dunia Atas” seperti dewa, angkasa, lelaki, baik, kanan dan
seterusnya, pasti ada “Dunia Bawah” seperti manusia, laut, wanita, jahat, kiri
dan seterusnya. Oleh sebab itu, ketika orang Tionghua memperkenalkan budayanya,
bangsa Indonesia tidak langsung menolak karena warisan tradisi nenek moyangnya.
Sehingga kecenderungan kain tradisional nusantara pada masa prasejarah
mencerminkan pada ragam hiasnya tentang keseimbangan, keselarasan, keserasian
dan kelestarian seperti filsafat yang
terkandung dalam hong shui, yakni Ying danYang.

Filosofi batik tidak hanya dilihat dari kain yang sudah
bermotif, namun jauh sebelum itu, bahkan dalam proses pembuatannya. Seperti
selembar kain putih ibarat orang yang baru dilahirkan dalam keadaan putih,
bersih dan suci. Benda yang masih polos tergantung pada orang yang menorehkan
gambar, dengan penuh kasih sayang, cinta kasih atau dengan emosi.
Menggambar pola batik dengan menggunakan canting tidak semudah kita menorehkan
coretan pada kanvas dengan kuas. Dalam membatik diperlukan landasan ketulusan
pikiran dan kehalusan perasaan, agar rasa itu terekam dalam kain batik
nantinya. Filosofi dalam proses membuat pola batik ini menyiratkan bahwa
dalam bekerja setiap manusia itu harus
dilandasi ketulusan perasaan dan pikiran untuk dapat menghasilkan karya yang
dapat dirasakan dan dibanggakan oleh orang yang memakainya.
Begitu juga dalam proses pewarnaan, dimana dibutuhkan kesabaran
dan pengulangan untuk mendapatkan hasil maksimal seperti yang diinginkan.
Selain warna yang dihasilkan tidak gampang pudar atau luntur, bahkan dalam
kurun waktu yang cukup lama, juga dapat menambah kekuatan umur kain yang
dihasilkan. Sehingga kain batik yang berkualitas tinggi merupakan aset yang
berharga. Dalam hal ini makna filosofi yang dapat kita petik adalah, sebuah
proses sangat menentukan terhadap hasil. Pewarnaan yang membutuhkan waktu
ibarat orang bekerja hendaklah menghindarkan sesuatu yang berbau instan, yang
mana hasilnya akan cepat pudar dan mudah dibuang dari memori orang lain.
Motif dan Budaya

Sebagai contoh, di wilayah Tuban terdapat kain batik
bermotif Tionghua yang paling disukai dengan ragam hias burung phoenix dan kembang peony. Kembang peony ini berasal dari
agama Buddha, sedangkan burung phoenix atau burung hong merupakan simbol yang
melambangkan keabadian.
Menurut kepercayaan Tionghua, bila burung phoenix telah lelah
dan mendekati ajalnya, maka akan kembali ke sarangnya semula, lalu membakar
diri di sarang tersebut. Tetapi dari abu pembakaran itu akan lahir kembali
seekor burung yang baru. Demikianlah mata rantai ini tidak ada habis-habisnya.
Dari keberagaman motif dan terbuka terhadap unsur baru yang menyiratkan bahwa
manusia hendaklah mempunyai sifat terbuka atas masukan-masukan positif yang
dapat memperkaya dan mempunyai nilai tambah dalam kehidupan bersama.***NZ
Foto-foto: Revin Ananda,Istimewa.