Banyak hal yang ditemui di jalanan, disaat kita mau membuka mata dan telinga untuk memahami sekitar. Ada terselip cerita dua pedagang kaki lima yang memberikan renungan dan kadang tak sempat terpikirkan.
by Nur Ida Zed
ilustrasi by dvine adinda
Ini pengalaman saya bertemu dengan dua pedagang perempuan setengah baya, bahkan cenderung tua yang tanpa sengaja saya temui di waktu dan tempat yang berbeda. Sama-sama pedagang kaki lima. Ibu pertama yang saya temui di depan pasar tradisional Lenteng Agung ketika kebetulan saya mampir dari olah raga pagi waktu itu. Tetiba saya ingin membeli tempe, saat mata saya menemukan seorang ibu tua yang duduk di sisi depan pasar dengan tumpukan dagangannya, beberapa tempe yang ditata tinggi dan terlihat masih belum berkurang alias belum laku dari pagi.
Ya, entah kenapa saya seolah terkena magnet dan mulai menuju ke tempat itu serta ingin membelinya dua atau tiga papan saja. Kebetulan saya hanya membawa uang seratus ribuan, lalu saya menyerahkan uang itu kepada penjual tempe tadi. Rupanya si ibu tidak punya kembalian. "Uang pas saja ada, Nak, Ibu belum buka dasar," katanya dengan sopan seraya memeriksa dompetnya yang terlihat sisa tinggal uang recehan. Tapi di dompet saya hanya ada dua lembar uang seratus ribuan sehingga tidak ada uang pas yang harus diberikan. Lalu bagaimana solusi Ibu tadi ?
Ternyata dia mengembalikan uang saya sembari bilang: "Bawa dulu aja gak apa, Nak. Besok balik lagi," Deg, saya kaget. Saat mau tinggalkan uang saya di situ, si ibu menolak, sementara kalau mau batal membeli, kasihan ibu tua ini dagangannya belum laku dari tadi. Akhirnya saya mencari Alfamart dan membeli sesuatu agar mendapatkan uang pas buat si ibu. Saya masih terkesima dengan sikapnya yang begitu percaya terhadap saya yang baru saja dikenalnya, sedangkan dia sendiri dagangannya belum laku satupun, tapi tak masalah baginya tanpa menaruh curiga.
Ketika saya kembali dan membayar dengan uang pas, si ibu malah berkata: "Kok repot-repot, Nak. Besok aja gak apa, kan ibu masih dagang di sini." Ah, saya yang tidak bisa, bu, batin saya. Saya tahu ibu ini baik, tapi kita tidak pernah tahu apa besok masih ada di sini. Yakan?! Beberapa harinya ketika saya lewat kembali, tak melihat lagi si ibu duduk di sana bersama papan-papan tempenya. Wallahu alam.
Yang kedua cerita saya dengan ibu pedagang pecel yang suka jualan di seputaran UI. Jadi saya memang penyuka pecel, kudapan yang berisi aneka sayuran dengan bumbu kacang pedas yang suka ditemui di tempat keramaian. Ceritanya ketika sedang olah raga di bunderan depan rektorat Universitas Indonesia pada hari Minggu pagi itu, tetiba saya melihat ibu penjual pecel berdagang di seberang lokasi kami berlari. Kemudian saya mendekat dan bermaksud untuk membeli, karena memang belum sempat sarapan pagi.
"Mau dong, Bu".kata saya minta diracikkan satu porsi. Lalu ibu itu bertanya mau apa saja sayurannya, kujawab lengkap dengan lontong, bihun dan tahu goreng, tapi tanpa kol. Dengan cekatan si ibu menata pesanan saya di pincuk kertas nasi. Rupanya ibu ini orang Jawa Timur, sehingga saya lalu berbincang dengan bahasa Jawa. Selajutnya saya minta dilengkapi dengan menambah kerupuk mie kuning yang khas itu agar sempurna nikmatnya.
Kemudian saat saya membayar, kebetulan si ibu kembaliannya kurang. Saya bilang: "Mboten punopo. Biar saja, gak apa-apa". Tapi si ibu malah menambahkan bihun dan tahu hingga pincuk di tangan saya menjadi makin penuh berisi. Ah, bisa saja ibu ini menjaga kearifan lokal, melestarikan budaya leluhur dan selalu menebar positif thinking. Betapa damai dan bahagianya kehidupan ini bila dipenuhi dengan segala kasih dan saling memberi.
Masya Allah, saya merasa dikelilingi oleh orang baik. Bertemu dengan mereka, orang biasa, seperti pedagang kaki lima di jalanan yang mengajarkan nilai-nilai kearifan lokal. Tak ada prasangka, saling percaya dan menghargai orang dengan selalu berfikir positif. Cerita dua pedagang kaki lima ini seolah membuka pikiran kita untuk tetap menebarkan energi positif dimana-mana.
Salam sehat dan selalu semangat.***NZ