Berkomunikasi dengan anak jaman now alias Gen Z memang gampang-gampang susah ya. Butuh seni mendengarkan agar mereka mau terbuka dan bercerita.
by Nur Ida Zed
foto dok.pribadi
Siapa yang mempunyai anak remaja tentu bisa merasakannya. Bagaimana menciptakan hubungan yang kuat, antara Gen Mom dan Gen Z ini sehingga saling terikat satu sama lain, untuk dapat memahami dan mengerti situasi yang dialami, termasuk saat curhat tentang suka maupun duka.
"Mom, peluk Puan, dong," kata putri saya seusai pulang dari bimbel waktu itu sembari merangkul dan meletakkan kepalanya di bahu. Saya menyambut pelukannya itu. Sepertinya dia butuh cerita, batin saya. Lalu saya elus rambutnya, kemudian dia cerita tentang kegelisahan hatinya, dan saya mendengarkan saja sampai selesai.
"Menurut Mama gimana ?" baru saya mulai mengemukakan pendapat. Tak harus panjang lebar, hanya mendukung dan memberi semangat tentang pilihan jurusan yang akan diambilnya. Begitulah, saat itu saya berperan menjadi pendengar yang baik buat putri saya, yang kini sudah remaja.
Tak terasa memang, waktu berlalu dengan cepatnya. Padahal rasanya baru kemarin saya mengantarnya mendaftar PPDB SD selepas TK, lalu SMP, kemudian SMA, sekarang sudah maba alias mahasiswa baru. Alhamdulillah kemarin dia lulus SNBT dan diterima di FIK Universitas Indonesia. Sebagai orang tua saya tentu bersyukur dan bangga, karena perjuangannya sepanjang ini membuahkan hasil. Ya, sebab dari dulu memang dia ingin kuliah di UI. Sebenarnya sih lolos juga di UNJ jalur prestasi, karena nilai ditambah prestasinya sebagai atlet taekwondo, dengan rekomendasi tiga medali emas kejuaraan tingkat nasional yang diraih di tiga tahun terakhir. Tapi pilihan tentu ada padanya.
Dan sebagai ibu yang selama ini mendampingi anak berusia remaja pasti banyak hal yang dialami, termasuk dalam berkomunikasi dengan mereka. Kalau dulu ketika masih kecil, mungkin bisa dibberi tahu ini itu dan nurut saja, atau ditanya apapun akan dijawab dengan segera. Tapi ketika menginjak remaja tentu caranya berbeda.
Anak generasi Z yang tumbuh dengan dunia tehnologi dan serba digital seperti Puan ini mau tak mau membentuk karakter dan kebiasaan mereka yang serba praktis, begitupun untuk urusan berkomunikasi. Seringkali kita harus memahami cara pandang dan pemikirannya, tidak bisa mennerapkan semua paradigma kita kepada mereka, termasuk ketika ingin mendengar keluh kesah dan curahan hatinya.
Cari Waktu Khusus
Pertama cari waktu khusus disaat mereka sedang mood. Ini penting karena salah satu ciri remaja, generasi Z seringkali moody, jadi butuh waktu yang pas untuk bisa diajak bicara. Ciptakan suasana yang santai seperti seorang teman dan sahabat agar dia dapat terbuka untuk bercerita. Misalnya ketika jalan-jalan berdua, atau belanja makanan kesukaannya, di situ bisa sembari mendengarkan ceritanya.
Tak perlu memaksa saat dia tidak ingin cerita, Cari waktu dan moment yang lain supaya dia merasa nyaman untuk terbuka. Kadangkala anak remaja suka ingin menyimpan dulu masalah yang dialami, atau berusaha menyelesaikan sendiri tanpa ingin bercerita.
Di saat dia bercerita atau mengemukakan pendapatnya, pahami dengan cara pandangnya. Jangan langsung mengintervesi, karena bisa menjadi salah pengertian dan merusak hubungan selanjutnya. Gunakan bahasa yang mudah dimengerti, karena anak sekarang kurang suka dengan bahasa yang bertele-tele, apalagi panjang lebar dengan berbagai nasehat dan kata-kata yang menggurui. Di saat dia perlu tempat untuk bercerita, bahkan berkeluh kesah dan mengemukakan pendapat, pahami dengan bahasa mereka.
Tunjukkan Rasa Empati
Saat mendengarkan dia berpendapat dan bercerita, tunjukkan rasa empati dengan mengungkapkan ketertarikan terhadap hal yang menjadi minat mereka. Berikan komentar yang positif, dan masuk dengan cara pandang mereka.
Mendengarkan dengan rasa empati ini akan meningkatkan komunikasi kita dengan mereka, sekaligus meningkatkan hubungan karena tidak sekedar mendegarkan, tapi juga memahami pikiran dan perasaannya.
Ketika dia mau bercerita, sebaiknya dengarkan sampai habis dengan seksama, jaga kontak mata serta bahasa tubuh yang menunjukkan rasa tertarik dengan mengenyampingkan yang lainnya. Hindari menyela, apalagi salah fokus dengan cerita yang lain. Tunjukkan rasa empati ini dengan memberikan komentar yang positif dan tidak mendistract apa yang menjadi pendapatnya.
Begitulah, mendengarkan menjadi penting di saat orang lain ingin berbicara, berpendapat dan bercerita serta didengar suaranya. Seni mendengar ini bisa menjadi kunci terjalinnya hubungan baik dengan siapapun, termasuk remaja atau Gen Z. Dengan mendengar kita bisa belajar tentang berbagai hal, mengetahui dan memahami mengenai berbagai hal dari berbagai sisi. Kemudian dapat menyaring semua pendapat dan pola pikir dari apa yang telah didengar.
Sebenarnya sih, mendengarkan tak hanya butuh seni mendengar saja, tapi lebih pada memahami dan mengerti apa yang sebenarnya didengar, sehingga membuat kita bijaksana. Mendengarkan menjadi salah satu cara menghargai orang lain.
Salam sehat danselalu semangat.***NZ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar