Sepertinya sederhana ya,
hanya ucapan terima kasih. Tapi ini bisa menjadi cerminan adab yang baik dari seseorang.
By Nur Ida Zed
“Terima kasih atas kunjunganya,” begitu
seringkali yang diucapkan pramusaji setelah kita selesai makan di restonya,
atau sekadar minum teh dan menikmati sekerat roti. Sambil mengantar di ujung
pintu keluar dan sedikit membungkuk menyatukan kedua tangan dengan menyelipkan
senyuman. Dan kita tentu jadi terkesan sehingga tak segan untuk datang kembali
bertandang. Hal yang sama juga ditemui di gerai pakaian, tempat wisata, hotel
dan lainnya. Pertanda kesopanan yang ditunjukkan lewat sikap dan kata-kata.
Ya. Kadang kita sering lupa dengan hal
kecil yang bisa menyentuh hati seperti ucapan terima kasih ini. Padahal ini
bentuk rasa syukur yang diajarkan untuk menghargai dan mengapresiasi sekecil
apa pun perbuatan orang lain dalam kebaikan. Bersyukur dan berterima kasih atas
segala nikmat yang telah diberikan, entah kepada Sang Pencipta maupun kepada sesama
makhluk, termasuk pada orang-orang yang telah berbuat kebaikan dalam hidup
kita, seperti kedua orang tua, keluarga, teman atau bahkan orang asing yang
baru kita kenal dan temui yang hatinya dipenuhi kebaikan. Semua ini menjadi
awal terbentuknya adab dalam diri seseorang.
Memperbaiki Akhlak
Ngomongin soal adab, sebenarnya banyak
banget yang bisa ditunjukkan. Secara keseluruhan adab merupakan segala bentuk
sikap, perilaku atau tata cara hidup yang mencerminkan nilai sopan santun, kebaikan
dan kehalusan budi pekerti atau biasa disebut akhlak. Dalam Bahasa Arab
sendiri, Adab (dari kata Addaba) yang artinya budi pekerti, tata
krama dan sopan santun. Adalah pendidikan atau ajakan yang mengarah pada
kebajikan.
Orang yang beradab adalah orang yang
selalu menjalani hidupnya dengan tata cara dan aturan yang mencerminkan nilai
sopan santun. Sebegitu pentingnya ini sehingga kehadiran Nabi ke dunia berkaitan
dengan itu, sebagaimana disebut dalam Hadist Riwayat Al-Baihaqi yang mengatakan:
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” Bahkan
dalam menilai keimanan seseorang kita juga diminta melihat bagaimana akhlak
yang bersangkutan. “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik
akhlaknya.”
Adab ini bisa berkaitan dengan norma mengenai
sopan santun yang berdasarkan pada aturan agama yang digunakan dalam pergaulan
antar manusia, tetangga dan masyarakat pada umumnya. Suatu ketika saat sedang
bertamu ke rumah teman, ada adab yang sebaiknya dilakukan seperti mengucap
salam, mengetuk pintu terlebih dahulu dan tidak membuat keributan. Saat makan
adab yang seharusnya dilakukan seperti mencuci tangan sebelum makan, membaca
doa, makan dengan tangan kanan, tidak banyak bicara saat makan, ketika
mengambil makanan harus dihabiskan alias tidak menyisakan makanan dan
sebagainya.
Ketika bertemu dengan orang tua atau
guru, sebaiknya menegur lebih dahulu, mengucap salam dan tidak berkata kasar
bahkan menyinggung perasaannya. Adab dalam bersosial media, saling mendukung dan
berkomentar tentang kebaikan, tidak saling mencela, menghina dan menjatuhkan,
tidak bergunjing, menyebarkan hoax dan yang lainnya. Jadi urusan adab ini
memang mengarah pada pembentukan pribadi yang membawa pada kebajikan dan
kerendahan hati.
Adab Lebih Tinggi dari Ilmu
Bila ada pepatah yang mengatakan bahwa adab
dulu baru ilmu, atau adab itu lebih tinggi dari ilmu, maknanya tentu mengenai
betapa pentingnya adab ini. Orang beradab sudah pasti berilmu, sementara orang
berilmu belum tentu beradab.
Ketika merasa miskin ilmu, kita bisa
belajar dari guru, membaca banyak buku, mencari tahu hingga menuntutnya sampai
ke negeri China. Ilmu bisa didapatkan saat kita berusaha sekolah berjenjang
dari tingkat dasar, menengah hingga mahir sebagai sarjana dan menjadi ahlinya.
Bahkan saat haus akan ilmu dan ingin terus menambahnya ibarat minum air laut
yang tak akan ada habisnya, keinginan menguasai ilmu yang terus berkembang seakan
tak pernah ada puasnya bisa didapat dengan berbagai cara. Namun percuma saja saat ilmu tidak didasari
dengan adab yang mulia, karena bisa berbahaya bagi pemiliknya dan orang lain.
Ilmuwan sekaliber Alferd Nobel merasa
menyesal dengan dampak dari penemuannya yang dimanfaatkan oleh orang-orang yang
tidak beradab. Dinamit atau bahan peledak yang awalnya dipergunakan untuk
membantu manusia memperpermudah pekerjaannya di bidang pertambangan ternyata
diselewengkan menjadi alat pembunuh seperti bom dan nuklir. Dia bahkan kini
menyumbangkan kekayaan dari hasil royalty
penemuannya kepada mereka yang respect
memperjuangkan kemanusiaan dengan Hadiah Nobel.
Ilmu dan kepintaran sebenarnya tak ada artinya
bila dikuasai oleh orang yang tak beradab. Kedua hal ini sebaiknya bersisian
sebagai imtek, atau iman dan teknologi. Seperti yang disampaikan Abu Zakariah
An-Anbari bahwa “Ilmu tanpa adab seperti api tanpa kayu bakar, adab tanpa ilmu
seperti jasad tanpa ruh.” Lalu, sebaiknya kita menempatkan sebagaimana porsi
keduanya agar menjadi manusia yang berguna di dunia dan akhirat.
Terima kasih banyak telah singgah di blog
saya yaa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar