Nina Akbar Tanjung Bersama Yayasan Warna Warni Indonesia
By Nur Ida Zuhayanti
Kemajemukan budaya memberikan banyak
inspirasi untuk dipelajari. Warna warni negeri ini menambah cinta bangsa
sendiri.
Rasa nasionalisme yang tinggi
membuat Krisnina Maharani Tandjung peduli terhadap persatuan dan kesatuan
bangsa ini. Wanita yang suka kegiatan humanity sejak remaja itu kemudian
mendirikan Yayasan Warna Warni Indonesia , yang mempunyai visi memperkuat
wawasan kebhinnekaan dalam rangka pembentukan watak bangsa atau nation
character building.
“Masyarakat kita ini terdiri dari
beraneka ragam budaya dan adat istiadat yang berbeda di setiap daerah. Karena
itulah saya ingin agar bangsa ini melestarikan sejarah dan kebudayaan yang ada untuk
kemudian terapresiasi dengan baik ,” terang lulusan Program Pasca Sarjana
Kajian Wilayah Amerika, Universitas Indonesia saat saya temui di rumahnya yang asri, pagi
itu.
Kegiatan yang dilakukan oleh Yayasan
ini lebih pada penanaman nilai sejarah dan budaya. Sejak berdirinya, tahun
1999, telah begitu banyak program yang dilakukan. Diantaranya : Pementasan
wayang orang keturunan Tionghoa di gedung HAILAI Internasional Executive Club
dan Gedung Kesenian Jakarta serta membuat modul mencintai sejarah bangsa.
“Program ini mengarahkan siswa untuk
mendiskusikan sejarah dan budaya setempat melalui kajian bangunan tua yang ada
di sekitarnya. Dilaksanakan di SMA Negeri I sampai 8 Surakarta , dan melibatkan
lebih dari 3000 siswa setiap tahunnya serta puluhan guru sejarah di Solo. Modul
ke 2 dalam rangka revitalisasi pembelajaran sejarah di sekolah,” lanjut penulis
buku House of Solo yang diterbitkan oleh Times Publisher Singapura , yang
kemudian diterjemahkan dengan judul “Rumah Solo”.
Selain itu, Yayasan yang berkantor
di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan ini juga memiliki program membina Kampung
Batik Laweyan di kota Solo, Jawa Tengah.
“Saya melihat kampung ini menyimpan
sejarah dan memiliki budaya asli yang cukup unik. Daerah tua yang dulu pernah
menjadi lokasi pergerakan rakyat dengan sebagian besar penduduknya bergantung
pada batik. Dari saudagar, pedagang hingga pembatiknya. Di sini saya mencoba
membenahi agar menjadi kampung batik yang rapi dan tetap terjaga keasliannya, terutama
dari arsitektur rumah di sana ,” lanjut ibu empat anak kelahiran Solo, 5 April
1960 itu.
“Keindahan arsitektur pada bentuk
atap dan bangunan lainnya memperlihatkan betapa dalamnya akar sejarah dan
budaya Solo,” ujarnya. “Saya beli rumah dan perabotan asli saudagar batik
terkaya saat itu, dan bersama Pemda setempat berusaha memberdayakan lagi
masyarakat di sekitarnya, sehingga menjadi semacam museum hidup, “ jelas istri
Akbar Tandjung yang juga Ketua I Yayasan Jantung Indonesia serta Ketua Penasehat
Masyarakat Sibolga ini. “Bangsa yang maju adalah bangsa yang mau mengerti dan
memahami sejarah dan akar budayanya”. Tegas penerima penghargaan Bintang Jasa
Adi Pradana dari Pemerintah Republik Indonesia itu. ***NZ
foto: istimewa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar