Warning: Human
Trafficking !
By: Nur Ida Zuhayanti
Tak dapat dipungkiri bahwa lingkaran kemiskinan seringkali
membawa pada langkah yang tiada bijak lagi. Kehadiran “sindikat” penyalur
tenaga kerja yang bagai malaikat penolong itu, ternyata tak ubahnya serigala
berbulu domba.
Suara musik eksotis masih terus mengalun diantara nyala lampu
temaram di sebuah pub yang juga melayani jasa pijat di kawasan Mangga Besar,
Jakarta Barat malam itu. Beberapa pengunjung nampak asyik masyuk bersama teman
kencannya sambil minum-minum. Yang lain terlihat santai sembari menikmati
alunan lagu dari layar besar di sisi ruangan yang disediakan. Di situlah Santi,
perempuan belia asal Sukabumi, Jawa Barat menghabiskan hari-harinya untuk
bekerja sebagai pemijat bersama beberapa teman sebaya. Dengan seragam rok mini
dan pakaian ketat, ia mengaku seringkali juga melayani para tamu yang ingin
meluapkan hasrat seksualnya. Pekerjaan ini terpaksa dilakukan, karena tak ada
pilihan lagi. “Keluarkan saya dari sini,” ratap sulung tiga bersaudara lulusan
Sekolah Menengah Pertama itu. Sambil berurai air mata, kemudian ia bercerita
tentang awal kepergiannya ke Jakarta , yang konon karena ingin membantu orang
tuanya yang hanya seorang buruh tani, dan sudah sakit-sakitan.
“Awalnya saya ditawari tetangga sebelah desa untuk jadi
pembantu di rumah orang kaya di Jakarta ,” papar pemilik tubuh bongsor itu
seolah mengingat perjalanan bersejarahnya pada akhir Desember tahun lalu.
Bersama tetangga yang telah dikenalnya itu ia lalu diantar ke sebuah yayasan
penyalur tenaga kerja di kawasan Kota , yang langsung dibawa ke tempat hiburan
itu, dan tidak bisa keluar lagi. Tiga bulan lamanya ia ditraining sebagai
pemijat, dan bagaimana melayani pelanggan. “Tidak digaji karena belum punya KTP
Jakarta, dan hanya memerima tip saja. Kata menejer saya: kalau mau bikin KTP
usianya harus ditulis 18 tahun. Tapi setelah punya, sampai sekarang malah tidak
mendapatkan apa-apa,” lanjut Santi yang konon pernah berusaha kabur, tapi
tertangkap oleh keamanan dan dipukuli. Padahal ia sudah kehilangan segalanya,
termasuk keperawanan yang selama ini ia jaga.
Tak hanya Santi, sebut saja Rina juga mengalami nasib
serupa. Perempuan asal Subang yang baru kena PHK sebagai buruh pabrik ini
bahkan telah medical ceck up segala untuk dapat bekerja sebagai TKW ke
luar negeri, di Singapura. Bayangan gaji yang tinggi setiap bulan supaya dapat
mengangkat derajat keluarga itu membuat niatnya demikian bulat dan semakin
membara. Tapi ternyata, ia hanya dijadikan pekerja seksual di Batam. “Ketika
diberitahu rencana negara tujuan berubah, yakni ke Malaysia dan tidak kunjung
diberangkatkan, saya sudah mulai curiga. Kata Bu Mahdalena (agen yang
membawanya), kita transit sembari nunggu paspor jadi, sekalian menambah pengalamana
kerja,“ terang perempuan yang waktu itu pergi bersama teman sekampungnya karena
ditawari kerja oleh Abdul Hadi untuk mendaftar di sebuah PJTKI . Rupanya
semua itu hanya sebagai alasan saja. Bersama temannya itu, ia dikurung di
lantai dua sebuah hotel, dan dipaksa melayani keinginan pengunjung pub, setelah
sebelumnya disuntik anti hamil oleh dokter. “Sebelum terlambat, kami nekat
melarikan diri turun dari lantai dua hotel tempat penampungan itu dengan ikat
pinggang,” kata Rina yang konon akan dijual keperawanannya kepada orang asing
seharga 4 juta. Beruntung mereka bertemu orang baik dan diantarkan melapor ke
pihak yang berwajib, hingga dapat dipulangkan.
Cerita Santi dan Rina merupakan potret korban pedagangan
perempuan yang ada di negeri ini. Para pelaku yang berkedok sebagai pencari
tenaga kerja dengan maksud membantu melepaskan diri dari kemiskinan, sebenarnya
hanya bertujuan untuk kepentingan pribadi. Sementara para korban hanya
dijadikan barang dagangan yang dijual untuk tujuan eksploitasi semata.
Berdasarkan data Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia, sepanjang tahun terdapat
sekitar 75.706 tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri menjadi
korban perdagangan manusia. Angka ini akan terus bertambah setiap tahun. Dan
tak kurang dari 40.000 – 70.000 setiap tahunnya, mereka diperdagangkan
untuk tujuan seks komersial. Dari jumlah itu ternyata 30 persennya masih di
bawah umur. Sehingga tentu saja, para korban yang ditemui sebagian besar
adalah: Perempuan dan anak-anak.
Derita Berkepanjangan
Perempuan merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki
kekuatan luar biasa. Ketika tiba-tiba musibah datang melanda, maka tak sedikit
sosok lemah lembut penuh perasaan ini tampil menyelamatkan keluarganya.
Berjuang sepenuh jiwa dan raga, tanpa kenal bahaya dan malapetaka. Desi,
misalnya, setelah sekian lama ditinggal pergi begitu saja oleh suaminya,
perempuan asal Blitar, Jawa Timur itu bertekat untuk tetap membesarkan anak
semata wayangnya, Yoga dengan memilih bekerja sebagai TKW di Hongkong. “Gaji
besar yang membuat saya tergiur untuk ikut mengadu nasib di negeri orang,”
terangnya seolah mengemukakan alasan. Berbekal ijasah SMA, perempuan kelahiran 10 Januari itu mendaftarkan diri
lewat PJTKI PT.Hikmah Suryajaya, di kota Malang .
Enam tahun ia bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) di
Hongkong, telah tiga kali ia berganti majikan. Dua tahun pertama di Kwai Chung
, ia mengaku banyak mendapatkan pelajaran. Seperti gaji yang tidak sepenuhnya
dibayarkan, adanya pemotongan-pemotongan dan perlakuan yang kurang
menyenangkan. Namun semua itu dapat dilalui dengan tabah dan tawakal. “Karena
dianggap membangkang, saya pernah diblokir oleh agen dan majikan agar tidak
dapat bekerja lagi,” terang ibu satu putra yang kini ikut aktif di sebuah
lembaga swadaya masyarakat untuk urusan migran. “Dari situ justru saya menjadi
terpacu untuk mencari tahu bagaimana sebaiknya kita berusaha untuk tetap
dapat bertahan hidup di tanah orang,” lanjutnya.
Tak hanya Desi, ada banyak perempuan lain yang memiliki nasib
serupa, bahkan lebih menderita. Kenyataan di Indonesia bahwa penduduk miskin
semakin bertambah, apalagi dengan adanya musibah dan bencana yang seolah susul
menyusul. Tsunami, gempa bumi, banjir bandang, tanah longsor, lahar lumpur
Lapindo dan yang lainnya. Kondisi inilah yang menurut sosiolog Gumilar
R.Sumatri PHd merupakan salah satu pemicu terjadinya trafficking alias
perdagangan manusia menjadi kian marak. “Kemiskinan dan kebodohan ibarat dua
sisi mata uang. Kondisi ini seringkali membuat orang tak dapat berfikir jernih
untuk membedakan mana niat baik dan mana itu jebakan,” terang sosiolog
Universitas Indonesia ini. Sedangkan perempuan dan anak-anak merupakan obyek
yang sangat mudah dipengaruhi, karena mereka lemah, cenderung penurut dan
gampang dibohongi.
“Suasana kesusahan itu membuat orang menjadi rentan untuk
dipengaruhi dan diberi mimpi terhadap peningkatan hidup yang lebih baik.
Padahal tujuan yang sebanarnya hanya untuk mengeklsploitasi kemiskinan itu
sendiri.,” terang Arist Merdeka Sirait, Sekjen Komnas Anak ketika ditemui di
kantornya di bilangan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Hal inilah menurutnya, yang
kemudian membuka peluang terjadinya trafficking.
Apa itu Trafficking ?
Menurut kamus besar Hassan Shadily, trafficking
berasal dari kata traffic yang berarti lalu lintas, atau
perdagangan-jual beli. Trafficking manusia berarti kejahatan yang meliputi
perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang
dengan ancaman atau penggunaan kekerasan serta bentuk-bentuk lain dari
pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan dan penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan dengan memberi maupun menerima pembayaran atau memperoleh
keuntungan agar mendapatkan persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang
lain untuk tujuan eksploitasi.
Di Indonesia, trafficking manusia telah mencapai skala
besar, terutama yang melibatkan perempuan dan anak (women and child
trafficking) untuk tujuan bekerja di rumah tangga serta eksploitasi
seksual. Dalam Traffick and Person Report yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri
AS dan Economy Social Commission Asia Pasific (ESCAP), Indonesia
bahkan ditempatkan pada peringkat ketiga atau terendah dalam upaya
penanggulangan perdagangan perempuan dan anak. Oleh sebab itu, Indonesia dikategorikan
sebagai negara yang memiliki “korban dalam jumlah besar”, karena belum
menerapkan standar minimum serta belum melakukan usaha yang berarti untuk
memenuhi standar minimum tersebut.
Sebenarnya, trafficking juga dipergunakan sebagai
bentuk dari kejahatan lain seperti pengantin pesanan, pedofilia,
kekerasan, bahkan transplantasi organ tubuh dengan dalih adopsi. Korban trafficking menghadapi berbagai macam
resiko kesehatan, penganiayaan fisik dan psikologis, tidak mendapatkan hak di
bidang hukum dan perburuhan serta dianggap sebagai migran yang tidak sah dalam
sebuah negara.
Sindikat
Yang Terselubung
Memang tak mudah mengenali kasus perdagangan perempuan ini.
Selain budaya kita masih demikian kental menerapkan bahwa perempuan merupakan
sosok yang penurut dan tak boleh menolak, tidak banyak dari mereka yang berani
mengungkap penderitaan ini ke permukaan, sehingga lebih baik tidak melapor.
“Jika korban sendiri tidak melapor, maka akan sulit untuk diproses,” terang
Sirait lagi. Tapi, kalaulah ada yang melapor, tidak sedikit justru korban dan
keluarganyalah yang dipersalahkan. Seperti yang dialami Rina pada waktu itu, ia
mengaku harus dengan susah payah membuktikan kasusnya terhadap pihak berwajib
sebelum diusut.
Ya, pada banyak kasus, pelaku biasanya merupakan sindikat
yang terorganisir dan telah diatur rapi sehingga sulit untuk disentuh. Tengok
saja tempat hiburan dimana Sinta bekerja. Setelah dikonfirmasi, konon bisnis
seks terselubung ini memang sangat menguntungkan. Menurut seorang sumber, boleh
jadi setiap bulannya bisa menghasilkan milyaran rupiah, sehingga dengan mudah
dapat membayar jasa keamanan dan aparat berwenang supaya terbebas dari jerat
hukum. Sekedar bahan perenungan, menurut laporan PBB tahun 2002 menyebutkan
bahwa sindikat internasional perdagangan manusia dapat meraup keuntungan
sekitar 7 miliar dollar AS setiap tahun dari perdagangan atas anak dan
perempuan asal Indonesia.
Dari kenyataan tersebut, maka tak aneh bila kasus trafficking
ini menjadi sulit untuk diungkap, karena mereka yang seharusnya berada di
jalur depan justru menjadi bagian dari bisnis ini. Hal inilah yang kemudian
melatar belakangi beberapa lembaga swadaya masyarakat untuk peduli terhadap
nasib bangsa dengan terus berjuang memerangi trafficking.
Dewi Hughes Internasional Foundation, misalnya, merasa perlu
memberikan penyuluhan dan kampanye anti
trafficking kepada masyarakat, terutama kaum perempuan di pedesaan untuk
waspada terhadap rayuan calo yang bertujuan menjebak. Begitu juga dengan
Solidaritas Perempuan , International Organization of Migration (IOM), Migrant
Care dan lainnya.
Lembaga-lembaga ini merasa berkepentingan untuk mendesak
pemerintah agar segera mensyahkan Undang- Undang Anti Trafficing yang menjerat
para pelaku. “Telah begitu banyak korban yang perlu ditangani dari kasus trafficking ini. Karena itu kita tidak
boleh tinggal diam,” jelas Dewi Hughes lagi.
Hal senada juga diungkapkan oleh Anies Hidayah, Direktur Migrant
Care, yang kegiatannya langsung berhubungan dengan para korban. “ Kami sangat
prihatin dengan keberadaan mereka. Karena itu kami berupaya untuk mendampingi
para buruh migrant agar mendapatkan
hak-haknya,” terang Anies ketika ditemui di kantornya Jalan Pulo Asem, Jakarta
Timur. Mereka perlu support agar tidak didzalimi.
Melihat kenyataan tersebut, maka tak ada jalan lain bagi
kita untuk segera memerangi kejahatan trafficking ini. “Harus ada upaya
yang kuat untuk memeranginya. Apalagi kasus-kasus yang terungkap ke permukaan
bukanlah menunjukkan angka sebenarnya, melainkan hanya perkiraan saja,” terang
Dra. Maswita Djaja MSc, salah satu tokoh yang peduli masalah Pemberdayaan
Perempuan. Pada sebuah kesempatan sebagai narasumber ia mengatakan bahwa kasus
ini seperti fenomena gunung es dan lingkaran setan. “Yang terlihat hanyalah
sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya. Kita tidak tahu sudah berapa banyak
kasus trafficking yang lolos dari
pengawasan aparat hukum. Atas dasar itulah, pemerintah punya komitmen untuk
memeranginya” tegasnya. Ya, karena kejahatan ini memang merupakan sindikat yang
terselubung. So, Warning: Human
Trafficking !! ***NZ
foto-foto: istimewa
Kenali Pelaku Trafficking.
Trafficking merupakan pelanggaran berat hak azasi manusia. Kejahatan
yang berkedok kebaikan itu mengakibatkan banyak korban yang tidak saja mengalami
penganiayaan fisik dan berbagai macam resiko kesehatan, tapi juga luka pada
psikologisnya. Oleh karena itu, ada baiknya bila kita mengenali para pelaku
trafficking ini, antara lain:
Ø
Broker / agen / sponsor atau
perantara lainnya yang mengatur perekrutan, atau penempatan kerja.
Ø
Oknum pemerintah yang terlibat dalam
pembuatan identitas palsu untuk KTP, Paspor dan lain-lain.
Ø
Agen Perusahaan Jasa Pengerah Tenaga
Kerja Indonesia (PJTKI) yang merekrut calon pekerja dengan cara ilegal.
Ø
Organisasi sindikat untuk seks
komersial, pedofilia, atau distribusi narkoba dengan cara memungut anak jalanan
atau penculikan.
Ø
Keluarga yang dengan sengaja menjual
anaknya karena mempunyai hutang atau terjerat hutang yang sangat besar.
Ø
Suami yang menjual istri atau
anaknya karena miskin, atau karena suami tidak bekerja.
Ø
Perempuan yang menjual anaknya
karena tidak mampu membiayai atau tidak menginginkan anak tersebut.
Ø
Orang yang menyediakan tempat
penampungan
Ø
Teman, tetangga atau orang yang
dikenal baik.
Ø
Perusahaan Impresariat atau jasa
hiburan.***NZ
Yang harus dilakukan bila orang terdekat menjadi korban
Ø
Kumpulkan setiap bukti yang ada
dengan mencatat tanggal, tempat kejadian, serta identifikasi pelaku.
Ø
Pilih orang yang dapat dipercaya
untuk menceritakan permasalahan yang terjadi.
Ø
Laporkan segera kepada aparat
kepolisian terdekat atau meminta bantuan serta pendampingan kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
Ø
Konsultasikan kepada lembaga-lembaga
yang menangani masalah perempuan dan anak, oraganisasi perempuan, atau
oraganisasi masyarakat yang memahami pola trafficking.***NZ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar